Cuti hamil/melahirkan merupakan salah satu hak pekerja perempuan. Meski tiap perusahaan mempunyai kebijakan yang berbeda-beda terkait cuti hamil/melahirkan, akan tetapi negara memiliki Undang – Undang yang mengatur secara jelas sehingga perusahaan wajib menjalankan setidaknya sesuai dengan yang sudah diatur dalam aturan ketenagakerjaan. Pelajari bagaimana UU mengatur mengenai cuti hamil/melahirkan!
1. Bagaimana peraturan mengenai cuti hamil/cuti melahirkan menurut undang-undang?
2. Apakah UU Cipta Kerja (omnibus law) menghilangkan aturan mengenai cuti hamil/melahirkan?
3. Apakah pekerja perempuan dapat mengambil cuti hamil/melahirkan setelah melahirkan?
4. Kapan sebaiknya pekerja perempuan mengambil cuti hamil/melahirkan?
5. Di beberapa perusahaan, ada yang mendapatkan cuti hamil/melahirkan lebih lama dari 3 bulan, dapatkan saya mengambil cuti lebih lama?
6. Bagaimana prosedur cara pengajuan cuti hamil/melahirkan?
7. Bagaimana apabila kelahiran terjadi lebih awal sebelum pekerja perempuan tersebut sempat mengurus hak cuti melahirkannya?
8. Apakah seorang pekerja yang istrinya melahirkan mendapatkan hak cuti?
9. Apakah pekerja perempuan yang bekerja di sektor informal atau freelancer juga berhak mendapatkan cuti hamil/melahirkan?
BAGAIMANA PERATURAN MENGENAI CUTI HAMIL/CUTI MELAHIRKAN MENURUT UNDANG-UNDANG?
Pengaturan mengenai cuti hamil/melahirkan diatur dalam Pasal 82 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni sebagai berikut :
Ayat 1 “Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan”
Aturan ini hanya menetapkan durasi minimal yang wajib diberikan bagi pekerja perempuan yang hamil dan melahirkan. Artinya perusahaan dapat memberikan waktu istirahat/cuti yang lebih lama dari ketentuan 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan tersebut
Lebih lanjut, Pasal 84 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menetapkan “Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat hamil dan melahirkan berhak mendapat upah penuh.”
APAKAH UU CIPTA KERJA (OMNIBUS LAW) MENGHILANGKAN ATURAN MENGENAI CUTI HAMIL/MELAHIRKAN?
Tidak. Perlindungan maternitas dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan termasuk mengenai cuti hamil/melahirkan tidak diubah, dihapus, atau ditetapkan pengaturan barunya oleh UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Maka sesuai ketentuan pasal 81 UU 11/2020, segala perlindungan maternitas dalam UU No.13 Tahun 2003 masih berlaku. Namun demikian untuk kepastian hukum penting bagi pengusaha dan pekerja/serikat pekerja untuk memasukan klausul perlindungan maternitas ke dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama.
APAKAH PEKERJA PEREMPUAN DAPAT MENGAMBIL CUTI HAMIL/MELAHIRKAN SETELAH MELAHIRKAN?
Berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003, pekerja perempuan yang hamil mendapatkan jatah cuti 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Namun di beberapa perusahaan diatur cuti melahirkan secara akumulatif 3 bulan, mengingat tidak mudah menghitung dan menentukan HPL (Hari Perkiraan Lahir). Faktanya banyak persalinan yang mendahului atau melewati HPL. Oleh karena itu biasanya perusahaan memberi kebebasan soal kapan cuti hamil akan diambil sepanjang totalnya 3 bulan.
Misalnya, dalam hal pekerja tersebut melahirkan prematur sehingga pekerja tersebut melahirkan sebelum mengurus hak cuti melahirkannya. Apabila kelahiran terjadi lebih awal dari yang diperhitungkan oleh dokter kandungan, tidak dengan sendirinya menghapuskan hak atas cuti bersalin/melahirkan. Anda tetap berhak atas cuti melahirkan secara akumulatif 3 bulan.
KAPAN SEBAIKNYA PEKERJA PEREMPUAN MENGAMBIL CUTI HAMIL/MELAHIRKAN?
Menurut UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003, pekerja hamil yang bekerja berhak mengambil cuti hamil selama 1,5 bulan sebelum melahirkan, atau setara saat menginjak 36 minggu usia kehamilan.
Namun, waktu yang tepat untuk mulai mengambil cuti hamil pada setiap individu berbeda, tergantung pada kondisi kesehatan kehamilannya. Dokter bisa saja menyarankan pekerja hamil untuk mengajukan cuti hamil lebih cepat dengan mempertimbangkan kesehatan ibu dan janin dalam kandungan.
DI BEBERAPA PERUSAHAAN, ADA YANG MENDAPATKAN CUTI HAMIL/MELAHIRKAN LEBIH LAMA DARI 3 BULAN, DAPATKAN SAYA MENGAMBIL CUTI LEBIH LAMA?
Dalam penjelasan Pasal 82 ayat (1) UUK bahwa lamanya istirahat dapat diperpanjang berdasarkan surat keterangan dokter kandungan atau bidan, baik sebelum maupun setelah melahirkan. Surat keterangan dokter kandungan atau bidan ini yang akan jadi penentu berapa lama pekerja dapat mengambil cuti. Apabila kemudian karena alasan kesehatan, dokter kandungan menganggap pekerja perlu waktu istirahat (Cuti) lebih dari 3 bulan sebelum atau setelah melahirkan, maka pekerja dapat mengajukan cuti sesuai waktu yang direkomendasikan dokter kandungan atau bidan.
Aturan waktu cuti hamil/melahirkan yang lebih lama dari aturan yang ada saat ini memang sedang didorong dan diupayakan, khususnya paska disepakatinya Konvensi Internasional ILO No. 183 tahun 2000 tentang Perlindungan Maternitas yang mencakup 4 perlindungan utama kehamilan:
- Jangkauan Perlindungan: baik bagi buruh perempuan hamil yang menikah dan tidak menikah, berstatus kerja tetap (PKWTT) maupun kontrak (PKWT).
- Jumlah waktu cuti melahirkan yakni tidak kurang dari 14 minggu (didalamnya termasuk cuti wajib 6 minggu setelah kelahiran anak, selama itu pekerja perempuan tidak diijinkan untuk bekerja). Termasuk cuti tambahan jika mengalami sakit, komplikasi atau resiko dari komplikasi tersebut yang membahayakan kehamilan. Dan istirahat untuk menyusui.
- Adanya tunjangan finansial dan medis selama kehamilan hingga kelahiran.
- Jaminan tidak akan kehilangan pekerjaan bagi pekerja perempuan yang mengambil hak cuti hamil/melahirkan dan perlindungan dari tindakan diskriminasi lainnya.
BAGAIMANA PROSEDUR CARA PENGAJUAN CUTI HAMIL/MELAHIRKAN?
Seorang pekerja perempuan berhak atas cuti hamil/melahirkan dan manfaat bersalin. Pekerja perempuan yang akan mengambil cuti hamil/melahirkan harus memberitahukan kepada atasannya maupun HRD/personalia tempatnya bekerja. Hal ini penting karena 3 bulan bukanlah waktu yang singkat maka diperlukan koordinasi agar pekerjaan tetap lancar meskipun ada pekerja yang sedang melaksanakan cuti hamil/melahirkan. Maka pemberitahuan tersebut harus disampaikan dalam kurun waktu yang layak untuk melakukan koordinasi seperti tersebut di atas.
Dalam hal kelahiran terjadi secara mendadak/tidak sesuai hari perkiraan lahir (HPL), perekerja perempuan yang bersangkutan ataupun anggota keluarganya harus memberikan pemberitahuan kepada atasan pekerja maupun HRD/personalia tempatnya bekerja. Yang harus diingat bahwa seluruh proses pengajuan cuti hamil/melahirkan tidak boleh dipersulit dan menghalangi pekerja perempuan untuk mendapatkan hak cuti hamil/melahirkannya.
BAGAIMANA APABILA KELAHIRAN TERJADI LEBIH AWAL SEBELUM PEKERJA PEREMPUAN TERSEBUT SEMPAT MENGURUS HAK CUTI MELAHIRKANNYA?
Apabila kelahiran terjadi lebih awal dari yang diperhitungkan oleh dokter kandungan, seharusnya tidak dengan sendirinya menghapuskan hak atas cuti pra melahirkan. Anda seharusnya tetap berhak atas cuti bersalin/melahirkan secara akumulatif 3 bulan. Namun demikian pada implementasinya buruh perempuan seringkali kehilangan hak cuti pra melahirkan karena ketentuan Pasal 82 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang membagi 3 bulan cuti melahirkan dengan 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan dan 1,5 bulan sesudah melahirkan.
Padahal pada praktiknya, pekerja perempuan yang sedang hamil mungkin tak selalu mudah menentukan kapan bisa mengambil haknya untuk cuti hamil dan melahirkan. Misalnya, dalam hal pekerja tersebut melahirkan prematur sehingga pekerja tersebut melahirkan sebelum mengurus hak cuti melahirkannya. OLeh karenanya perlu diatur pemberian hak cuti yang lebih dari ketentuan normatif, atau menyepakati pergeseran waktunya, dari masa cuti hamil ke masa cuti melahirkan, baik sebagian atau seluruhnya sepanjang akumulasi waktunya tetap selama 3 bulan atau kurang lebih 90 hari kalender dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, dan perjanjian kerja bersama.
APAKAH SEORANG PEKERJA YANG ISTRINYA MELAHIRKAN MENDAPATKAN HAK CUTI?
Ya, pekerja yang istrinya melahirkan atau pun mengalami keguguran berhak atas cuti ayah selama 2 hari dengan upah penuh dari perusahaan tempatnya bekerja. Pasal 93 ayat (2) huruf c dan ayat (4) UU 13/2003 menyebut: pengusaha wajib membayar upah untuk selama 2 hari apabila: pekerja tidak masuk bekerja karena isteri melahirkan atau keguguran kandungan.
Sementara itu bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 24 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Cuti ASN menyebut, ASN berhak memperoleh cuti ketika istri sedang melahirkan atau operasi caesar karena alasan penting dengan menyertakan lampiran surat keterangan rawat inap, surat keterangan dokter kandungan, dsb. Pengajuan cuti ayah ini bisa didapatkan paling lama 1 bulan. Cuti untuk mendampingi istri melahirkan ini tidak mengurangi jatah cuti tahunan ASN dan selama cuti ini ASN berhak atas upah penuh.
Mengenai cuti untuk keperluan anak ini, Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), melalui Konvensi ILO Nomor 156 tahun 1981 tentang Pekerja dengan Tanggung Jawab Keluarga, mendorong Negara anggota untuk melindungi perlakuan yang sama bagi pekerja laki-laki dan perempuan, dengan tanggung jawab keluarga, untuk menggunakan hak mereka melakukan tanggung jawab tersebut tanpa didiskriminasikan dan, sejauh memungkinkan dilindungi, tanpa ada konflik antara pekerjaan dan tanggung jawab mereka. Sayangnya Konvensi ini belum diratifikasi oleh Negara Indonesia
APAKAH PEKERJA PEREMPUAN YANG BEKERJA DI SEKTOR INFORMAL ATAU FREELANCER JUGA BERHAK MENDAPATKAN CUTI HAMIL/MELAHIRKAN?
Pekerja di sektor informal maupun pekerja dengan status freelancer, selama terikat hubungan kerja dengan pengusaha atau orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan (mengacu pada definisi pengusaha dalam Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) mempunya hak atas cuti hamil dan melahirkan. Hubungan kerja ini didasari pada perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dengan demikian sejumlah aturan dalam UU Ketenagakerjaan berlaku bagi mereka.
Artikel terkait:
1. Hak Pekerja Perempuan
2. Cuti Keguguran
3. Perlindungan Saat Hamil
4. Upah Saat Hamil dan Biaya Persalinan
5. Hak dan Fasilitas Menyusui
6. Kerja Malam Bagi Pekerja Perempuan
7. Pelecehan dan Kekerasan
Sumber:
Indonesia. UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
Indonesia. UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Indonesia. UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Indonesia. UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Indonesia. Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 24 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Cuti Aparatur Sipil Negara
Internasional. Konvensi IOL No. 155 tahun 1981 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Internasional. Konvensi ILO Nomor 156 tahun 1981 tentang Pekerja dengan Tanggung Jawab Keluarga
Internasional. Konvensi ILO No. 183 tahun 2000 tentang Perlindungan Maternitas
Internasional. Rekomendasi 191 tahun 2000 tentang Rekomendasi Konvensi ILO No. 183 tahun 2000 tentang Perlindungan Maternitas
Ikuti terus bloghrd.com untuk mendapatkan informasi seputar HR, karir, info lowongan kerja, juga inspirasi terbaru terkait dunia kerja setiap harinya!