Dalam artikel bloghrd.com ini, kita akan membahas variasi kasus terkait perhitungan pajak penghasilan yang harus dipotong oleh perusahaan atas tunjangan hari raya keagamaan yang diterima oleh pegawai lepas, dimana pegawai tersebut adalah penerima gaji prorata atau dengan kata lain menghitung PPh 21 atas THR Prorata.
Pada dasarnya, pajak yang dikenakan pada tunjangan hari raya adalah pajak penghasilan (PPh 21) atas penghasilan tidak teratur. Namun karena menyangkut tunjangan hari raya pada pegawai penerima gaji prorata, maka ada baiknya kita membahas beberapa ketentuan terkait dengan gaji prorata, tunjangan hari raya dan kemudian baru masuk ke dalam perhitungan pajak penghasilannya.
Daftar Isi
Hitung Gaji Prorata Terlebih Dahulu Dengan Rumus Berikut
Gaji prorata atau prorate, dalam bahasa Inggris, adalah pemberian gaji yang dihitung secara proporsional berdasar jam kerja pegawai.
Contoh penggunaan ketentuan gaji prorata ini adalah gaji untuk freelance (pekerja paruh waktu), pekerja tidak tetap, pekerja yang mengundurkan diri atau pekerja yang baru direkrut pada tengah bulan.
Ketentuan gaji prorata sebenarnya tidak tercantum di dalam Undang-undang Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia.
Sehingga, sebenarnya perusahaan dapat mengaturnya di dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, sesuai dengan kesepakatan antara pegawai dengan perusahaan yang bersangkutan.
Namun, untuk memenuhi rasa keadilan bagi pegawai, maka perhitungan prorata secara proporsional ini sering juga digunakan.
Mengingat gaji prorata didasarkan pada waktu kerja, maka upah prorata dihitung menggunakan upah per jam.
Apabila upah perusahaan secara umum adalah gaji bulanan (bukan per jam) maka perhitungan gaji prorata dimulai dengan menghitung upah per jam terlebih dahulu (asumsi 173 jam per bulan), baru kemudian mengalikannya dengan jumlah jam kerja riil yang telah dilakukan pegawai.
Atau dapat juga menggunakan rumus sebagai berikut:
Rumus Gaji Prorata = Jumlah Hari x Jam Kerja x 1/173 x Upah Sebulan
Namun, apabila telah diketahui berapa upah per jamnya, maka perusahaan tinggal mengalikannya dengan jam kerja, dengan rumus sebagai berikut:
Rumus Gaji Prorata Jika Upah Per Jam Sudah Diketahui = Jumlah jam kerja x Upah per jam
Contoh Cara Menghitung Gaji Prorata
Berikut beberapa contoh yang bisa digunakan.
Contoh Kasus Perhitungan Gaji Prorata dan Pajak Penghasilan 1
Dalam contoh ini, kita akan menghitung gaji prorata dan pajak penghasilan bagi pegawai baru, Ardiana, yang bergabung dengan perusahaan pada pertengahan Maret 2019 dengan gaji Rp 500.000,00 per jam.
Rincian jam kerja Ardiana:
Maret: 12 jam
April: 18 jam
Mei: 20 jam
Ardiana memiliki status wajib pajak belum kawin (TK/0) dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar Rp 54.000.000,00.
Mari kita hitung penghasilan dan pajak penghasilannya di bulan April.
Tarif Pajak Penghasilan PPh21 bagi Pegawai yang memiliki NPWP:
Penghasilan Kena Pajak | Tarif Pajak |
---|---|
Hingga Rp50.000.000 | 5% |
Di atas Rp50.000.000 – Rp250.000.000 | 15% |
Di atas Rp250.000.000 – Rp500.000.000 | 25% |
Di atas Rp500.000.000 | 30% |
Perhitungan:
Karena kita telah mengetahui upah per jam, mari hitung penghasilan Ardiana pada bulan April:
Gaji Kotor Bulan April: Rp 500.000,00 x 18 jam = Rp 9.000.000,00
Gaji Setahun: Rp 9.000.000,00 x 12 bulan = Rp 108.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak = Gaji Setahun – PTKP
= Rp 108.000.000,00 – Rp 54.000.000,00
= Rp 54.000.000,00
Pajak PPh 21 per tahun:
(5% x Rp 50.000.000,00) + (15% x Rp 4.000.000,00)
= Rp 2.500.000,00 + Rp 600.000,00
= Rp 3.100.000,00
Pajak PPh 21 di bulan April:
= Rp 3.100.000,00 / 12 = Rp 258.333,33
Dengan demikian, pajak PPh 21 yang harus dibayarkan oleh Ardiana pada bulan April sebesar Rp 258.333,33.
Contoh Kasus Perhitungan Gaji Prorata dan Pajak Penghasilan 2
Pada pertengahan Maret 2019, perusahaan Anda mengangkat Ardiana sebagai pegawai baru dengan gaji Rp 500.000,00 per jam.
Jam kerja Ardiana dalam beberapa bulan adalah:
Maret: 12 jam
April: 18 jam
Mei: 20 jam
Ardiana memiliki status wajib pajak belum kawin (TK/0) dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar Rp 54.000.000,00.
Mari hitung penghasilan dan pajak penghasilannya pada Bulan April.
Tarif Pajak Penghasilan (PPh21) bagi Pegawai yang memiliki NPWP:
Penghasilan Kena Pajak | Tarif Pajak |
---|---|
Penghasilan hingga Rp50.000.000 | 5% |
Penghasilan di atas Rp50.000.000 – Rp250.000.000 | 15% |
Penghasilan di atas Rp250.000.000 – Rp500.000.000 | 25% |
Penghasilan di atas Rp500.000.000 | 30% |
Perhitungan:
Karena upah per jam telah diketahui, kita hitung penghasilan Ardiana pada bulan April:
Gaji Kotor Bulan April: Rp 500.000,00 x 18 jam = Rp 9.000.000,00
Gaji per tahun: Rp 9.000.000,00 x 12 bulan = Rp 108.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak = Gaji per Tahun – PTKP
= Rp 108.000.000,00 – Rp 54.000.000,00
= Rp 54.000.000,00
Pajak PPh 21 per tahun:
(5% x Rp 50.000.000,00) + (15% x Rp 4.000.000,00)
= 2.500.000 + 6.000.000
= 8.500.000
Pajak PPh 21 di bulan April:
= 8.500.000 / 12 = 708.333
Dengan demikian, pajak penghasilan yang harus dibayarkan oleh Ardiana pada Bulan April sebesar Rp 708.333.
Ketentuan Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan
Ketentuan mengenai pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) di Indonesia merupakan hal yang penting untuk diperhatikan oleh pemberi kerja.
THR adalah bentuk hak bagi pekerja dalam merayakan hari raya agama mereka, yang juga memiliki implikasi signifikan terhadap aspek finansial dan kesejahteraan karyawan.
Maka dari itu, memahami ketentuan THR yang berlaku adalah suatu kewajiban yang tak bisa diabaikan.
Pemberian THR pada Pekerja Tetap
Secara umum, ketentuan THR mengharuskan pemberi kerja untuk memberikan tunjangan ini kepada pekerja tetap yang telah bekerja selama minimal satu bulan secara berturut-turut.
Besaran THR yang diberikan akan bergantung pada masa kerja pekerja tersebut.
Ada dua kategori besaran THR yang umumnya diterapkan:
- Masa Kerja 12 Bulan atau Lebih: Pekerja yang telah bekerja selama minimal 12 bulan secara terus-menerus berhak menerima tunjangan hari raya sebesar upah satu bulan. Artinya, pekerja ini akan menerima gaji yang setara dengan upah yang biasanya diterima dalam satu bulan kerja.
- Masa Kerja Kurang dari 12 Bulan: Pekerja yang telah bekerja selama minimal satu bulan, tetapi kurang dari satu tahun, berhak mendapatkan THR secara proporsional. Besar proporsi ini dihitung berdasarkan lamanya masa kerja pekerja tersebut.
Penyelarasan untuk Pekerja Harian Lepas
Bagi pekerja harian lepas dengan masa kerja minimal 12 bulan atau lebih, ketentuan THR tetap berlaku.
Namun, terdapat perbedaan dalam perhitungan komponen upah bulanan.
THR pekerja lepas akan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima selama 12 bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan tiba.
Namun, jika masa kerja pekerja lepas kurang dari 12 bulan, perhitungan besaran upah satu bulan akan berdasarkan rata-rata upah yang telah diterima selama masa kerja tersebut.
Dengan demikian, sistem ini memastikan bahwa pekerja lepas juga mendapatkan hak mereka dalam bentuk THR, walaupun dengan pendekatan yang lebih sesuai dengan kondisi mereka.
Rumus Perhitungan THR Pekerja Lepas
Perhitungan THR bagi pekerja lepas dilakukan dengan menggunakan rumus yang memperhitungkan masa kerja dan rata-rata upah yang diterima.
Rumus ini memastikan bahwa besaran THR yang diberikan kepada pekerja lepas mencerminkan kontribusi mereka selama masa kerja tertentu:
THR Pekerja Lepas = (Masa Kerja dalam Bulan) x (Rata-rata Upah dalam 12 Bulan Terakhir) / 12
Dalam rumus ini, masa kerja dihitung dalam bulan, dan rata-rata upah diambil dari 12 bulan terakhir sebelum hari raya keagamaan.
Hasil perhitungan ini akan memberikan besaran THR yang sesuai dengan kontribusi pekerja lepas.
Contoh Kasus 2: Menghitung Penghasilan dan THR Ardiana
Merujuk pada Contoh Kasus 1 namun gaji per jam adalah Rp 600.000,00 , mari kita hitung penghasilan dan THR yang akan diterima Ardiana pada bulan Mei:
Gaji bulan Mei: 20 jam x Rp 600.000,00 = Rp 12.000.000,00
Gaji bulan April: 18 jam x Rp 600.000,00 = Rp 10.800.000,00
Gaji bulan Maret: 12 jam x Rp 600.000,00 = Rp 7.200.000,00
Rata-rata Upah Bulanan = (Rp 12 juta + Rp 10,8 juta + Rp 7,2 juta) / 3 bulan
= Rp 10.000.000,00
Tunjangan Hari Raya = 3 Bulan x Rp 10.000.000,00 / 12 Bulan
= Rp 2.500.000,00
Perlu diingat juga bahwa Pekerja Kontrak Waktu Tertentu (PKWT/Kontrak) dan Pekerja Kontrak Waktu Tidak Tertentu (PKWTT/Tetap) juga berhak mendapatkan THR, apabila pemutusan hubungan kerja terjadi 30 hari sebelum Hari Raya Keagamaan. Untuk menghindari sengketa lebih lanjut, sebaiknya hal ini dibicarakan dengan baik oleh bagian personalia dengan pegawai.
Kesimpulan
Ketentuan THR merupakan bentuk pengakuan dan penghargaan terhadap peran serta pekerja dalam suatu perusahaan. Dengan mematuhi ketentuan yang berlaku, pemberi kerja memastikan bahwa hak-hak pekerja dihormati dan diberikan dengan adil.
Dalam mengaplikasikan ketentuan ini, perlu diperhatikan bahwa besaran THR tidak hanya berdasarkan masa kerja, tetapi juga harus sesuai dengan kondisi dan jenis pekerjaan, termasuk pekerja harian lepas. Dengan pemahaman yang jelas dan penerapan yang tepat, pemberian THR dapat menjadi momen penting yang mendukung hubungan yang baik antara perusahaan dan karyawan.
Ketentuan dan Contoh Kasus Cara Menghitung PPh 21 atas THR Prorata
Penghasilan merupakan kewajiban yang membawa konsekuensi perpajakan, dan salah satu contohnya adalah Tunjangan Hari Raya (THR) yang diterima oleh pekerja. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor : Per-16/PJ/2016 memberikan panduan teknis dalam menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terkait dengan penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi.
Syarat Pengenaan PPh 21 pada THR
Berdasarkan peraturan tersebut, terdapat beberapa ketentuan yang menjadi dasar dalam menentukan apakah penghasilan THR seorang individu akan dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21. Beberapa poin penting meliputi:
- Penerimaan THR untuk Pegawai Tidak Tetap: Penghasilan Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas, baik berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah bulanan, masuk dalam lingkup pengenaan PPh 21.
- Penghasilan Melebihi Batas: Penerima penghasilan THR yang masuk dalam kategori Pegawai Tidak Tetap akan dikenakan PPh 21 jika penghasilan kumulatif yang diterima dalam satu bulan kalender telah melebihi batas tertentu. Batas ini ditetapkan dalam Pasal 9 ayat 1, poin (a), yakni jika penghasilan melebihi Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah).
Dasar Perhitungan Penghasilan Kena Pajak (Bruto)
Dasar perhitungan pajak atas THR mengacu pada Pasal 10 Per-16/PJ/2016. Menurut pasal ini, jumlah penghasilan bruto yang akan dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 adalah total keseluruhan penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh penerima penghasilan dalam satu periode atau saat pembayaran dilakukan.
Contoh Kasus 1: Menghitung PPh 21 atas THR Prorata
Mari kita ambil contoh kasus untuk lebih memahami bagaimana perhitungan PPh 21 pada THR dengan pendekatan prorata.
Misalkan seorang pegawai bernama Ardiana menerima THR sebesar Rp7.000.000,00. Berdasarkan batasan, penghasilan tersebut melebihi Rp4.500.000,00 sehingga terkena PPh 21.
Langkah pertama adalah menentukan penghasilan bruto atau dasar perhitungan pajak. Penghasilan bruto Ardiana adalah Rp7.000.000,00.
Lalu, berdasarkan Pasal 10 Per-16/PJ/2016, penghasilan kena pajak adalah seluruh penghasilan bruto yang diterima Ardiana, yaitu Rp7.000.000,00.
Selanjutnya, besaran pajak yang harus dipotong dapat dihitung dengan menggunakan tarif PPh 21 yang berlaku. Misalkan tarif tersebut adalah 5%. Maka:
Pajak yang harus dipotong = Penghasilan kena pajak x Tarif PPh 21 = Rp7.000.000,00 x 5% = Rp350.000,00.
Dengan demikian, Ardiana harus memotong PPh 21 sebesar Rp350.000,00 dari penghasilan THR yang diterimanya.
Contoh Kasus 2: Menghitung PPh 21 atas THR Prorata Beserta Gaji
Dalam upaya untuk lebih memahami perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) atas penghasilan gaji dan Tunjangan Hari Raya (THR), mari kita telusuri Contoh Kasus 1 dan 2 dengan menghitung pajak penghasilan yang diterapkan pada penghasilan yang diterima Ardiana pada bulan Mei, asumsikan diterima bersamaan.
Data Kasus:
Gaji bulan Mei: Rp 10.000.000,00
THR: Rp 2.083.333,00
Perhitungan:
- Penghasilan Bruto Bulan Mei: Penghasilan bruto bulan Mei adalah jumlah gabungan antara gaji dan THR yang diterima Ardiana pada bulan Mei. Penghasilan bruto bulan Mei = Gaji bulan Mei + THR = Rp 10.000.000,00 + Rp 2.083.333,00 = Rp 12.083.333,00
- Penghasilan Satu Tahun: Penghasilan satu tahun diperoleh dengan mengalikan penghasilan bruto bulan Mei dengan jumlah bulan dalam setahun. Penghasilan satu tahun = Penghasilan bruto bulan Mei x 12 = Rp 12.083.333,00 x 12 = Rp 145.199.996,00
- Penghitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP): PKP dihitung dengan mengurangkan Penghasilan satu tahun dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP) sebulan yang besarnya Rp 54.000.000,00. PKP = Penghasilan satu tahun – PKP sebulan = Rp 145.199.996,00 – Rp 54.000.000,00 = Rp 91.199.996,00
- Perhitungan Pajak Penghasilan Setahun: PPh 21 satu tahun dihitung dengan menggabungkan tarif PPh 21 yang berbeda pada rentang PKP. PPh 21 satu tahun = (5% x Rp 50.000.000,00) + (15% x Rp 41.199.996,00) PPh 21 satu tahun = Rp 2.500.000,00 + Rp 6.179.999,40 = Rp 8.679.999,40
- Pajak Penghasilan Bulan Mei: Pajak penghasilan yang harus dipotong pada bulan Mei dapat dihitung dengan membagi PPh 21 satu tahun dengan jumlah bulan dalam setahun. PPh 21 bulan Mei = PPh 21 satu tahun / 12 = Rp 8.679.999,40 / 12 = Rp 723.333,28 ≈ Rp 723.333,00
Kesimpulan
Pengenaan PPh 21 pada penghasilan THR memiliki dasar yang telah diatur dalam Per-16/PJ/2016. Melalui contoh kasus di atas, kita dapat melihat bagaimana penghitungan PPh 21 dilakukan atas penghasilan THR dengan menggunakan tarif pajak yang berlaku. Pemahaman yang tepat mengenai ketentuan ini akan membantu pemberi kerja dan penerima penghasilan mematuhi peraturan perpajakan dengan benar.