Omnibus law adalah regulasi atau Undang-Undang (UU) yang mencakup berbagai isu atau topik. Secara harfiah, definisi omnibus law adalah hukum untuk semua. Istilah ini berasal dari bahasa latin, yakni omnis yang berarti ‘untuk semua’ atau ‘banyak’.
Daftar Isi
Apa itu Omnibus Law?
Bryan A Garner, dalam Black Law Dictionary Ninth Edition menyebutkan:
“Omnibus: relating to or dealing with numerous objects or items at once; including many things or having various purposes”.
Artinya omnibus law berkaitan atau berurusan dengan berbagai objek atau hal sekaligus, dan memiliki berbagai tujuan. Jadi, skema regulasi yang sudah dikenal sejak 1840 ini, merupakan aturan yang bersifat menyeluruh dan komprehensif, tidak terikat pada satu rezim pengaturan saja.
Bisa disimpulkan bahwa omnibus law adalah UU baru yang memuat beragam substansi aturan yang keberadaannya mengamandemen beberapa UU sekaligus.
Istilah ini disebut Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato pertamanya setelah dilantik menjadi presiden untuk kedua kalinya pada Oktober 2019 silam.
Jokowi menyebutkan bahwa omnibus law akan menyederhanakan kendala regulasi yang kerap berbelit-belit dan panjang. Pemerintah juga meyakini omnibus law akan memperbaiki ekosistem investasi dan daya saing Indonesia sehingga bisa memperkuat perekonomian nasional.
Omnibus law yang akan dibuat Pemerintah Indonesia, terdiri dari dua Undang-Undang (UU) besar, yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Perpajakan. Omnibus law rencananya akan menyelaraskan 82 UU dan 1.194 pasal.
Baca Juga: Data Karyawan yang Harus Diperhatikan pada fitur PPh 21 Aplikasi Pajak
Alasan Pemerintah Membuat Omnibus Law
1. Terlalu Banyak Regulasi
Alasan pemerintah membuat omnibus law lantaran sudah terlalu banyak regulasi yang dibuat. Tak jarang, satu regulasi dengan regulasi lainnya saling tumpang tindih dan menghambat akses pelayanan publik, serta kemudahan berusaha. Sehingga membuat program percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sulit tercapai.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia mencatat, dalam periode 2014 hingga Oktober 2018, pemerintah telah menerbitkan 8.945 regulasi. Terdiri dari 107 Undang-Undang, 765 Peraturan Presiden, 7.621 Peraturan Menteri, 452 Peraturan Pemerintah.
2. Indeks Kualitas Regulasi Indonesia Rendah
Bank Dunia mencatat, posisi skor Indonesia di sepanjang 1996-2017 selalu minus atau di bawah nol. Menurut rumusan skala indeks regulasi Bank Dunia, skor 2,5 poin menunjukkan kualitas regulasi terbaik, sementara skor paling rendah adalah -2,5 poin.
Pada 2017, skor Indonesia menunjukkan angka -0,11 poin dan berada di peringkat ke-92 dari 193 negara. Dalam lingkup ASEAN, posisi Indonesia masih berada di peringkat kelima di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.
Baca Juga: Ini Daftar UU yang Mengatur PPN dan Regulasi Terbaru yang Berlaku
Tak hanya membuat indeks regulasi Indonesia rendah, banyaknya regulasi juga telah memunculkan fenomena hyper regulation. Karena itu penyelenggara pemerintah berniat merevisi aturan perundang-undangan yang saling berbenturan.Jika dilakukan secara konvensional, revisi undang-undang secara satu per satu diperkirakan akan memakan waktu lebih dari 50 tahun. Dengan begitu pemerintah berpikir bahwa skema omnibus law adalah jalan satu-satunya yang bisa menyederhanakan regulasi dengan cepat.
Omnibus Law pada Bidang Perpajakan
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan sedang menyusun RUU Omnibus Law terkait regulasi perpajakan dengan tujuan membuat sistem pajak di Indonesia semakin kompetitif di tingkat dunia.
Omnibus law pada bidang perpajakan akan mengamandemen 7 Undang-Undang, yakni UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), UU Ketentuan Umum Perpajakan (PUK), UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta UU Pemerintah Daerah (Pemda).
Dari 7 UU perpajakan yang diamandemen, setidaknya ada 28 pasal yang akan terdampak dan dibagi menjadi 6 kelompok pembahasan, sebagai berikut:
1. Pendanaan Investasi
Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan yang turun dari 25% saat ini, menjadi 22% pada 2021-2022 dan 20% pada periode 2023 sampai seterusnya. Pemerintah juga akan menurunkan pajak badan yang melakukan go public dengan pengurangan tarif PPh 3% lagi di bawah tarif.
Kemudian akan ada penurunan tarif PPh Pasal 26 atas bunga untuk tarif PPh. Pasal 26 atas penghasilan bunga dari dalam negeri yang selama ini diterima oleh subjek pajak luar negeri yang dapat diturunkan lebih rendah dari tarif pajak 20% yang selama ini berlaku.
Baca Juga: Cara Lapor e-Bupot PPh Pasal 23/26 di Aplikasi Pajak
2. Sistem Teritorial
Penghasilan dividen luar negeri akan dibebaskan pajak, asalkan diinvestasikan di Indonesia. Untuk Warga Negara Asing (WNA) yang merupakan subjek pajak dalam negeri, kewajiban perpajakannya khusus untuk pendapatannya di dalam negeri.
3. Subjek Pajak Orang Pribadi
Regulasi ini membedakan WNA dan Warga Negara Indonesia (WNI). Orang Indonesia yang tinggal di luar negeri 183 hari, mereka bisa berubah menjadi subjek pajak luar negeri, jadi tidak membayar pajaknya di Indonesia. Untuk orang asing yang tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari, mereka menjadi subjek pajak di dalam negeri dan membayar pajaknya di Indonesia dari penghasilannya yang berasal dari Indonesia.
4. Pengaturan Ulang Sanksi dan Imbalan Bunganya
Sanksi administrasi bagi pelanggaran penerimaan pajak akan jadi menggunakan suku bunga yang berlaku di pasar dan dibagi lama waktu telat atau kurang bayar. Sanksi perpajakan selama ini, jika telat bayar, kurang bayar, atau mereka melakukan pelanggaran maka sanksinya adalah bunganya cukup tinggi 2% sampai dengan 24 bulan sehingga suku bunga bisa mencapai 48%. Cara ini diyakini akan meningkatkan kepatuhan perpajakan karena wajib pajak bisa menghitung sanksi administrasinya secara lebih rasional.
Baca Juga: SIUP, Apakah Masih Berlaku? Cari Tahu Regulasi Terbarunya di Sini
5. Ekonomi Digital
Pemajakan transaksi elektronik yang dibuat sama dengan pajak biasa. Ini termasuk penunjukan platform digital untuk pemungutan PPN dan mereka yang tidak memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) () di Indonesia akan tetap bisa dipungut pajaknya. Ini terutama untuk merespon perusahaan-perusahaan digital yang tidak ada di Indonesia namun dia mendapatkan pemasukan dari Indonesia seperti Netflix dan Amazon. Mereka tetap bisa dipajaki dengan menyampaikan pengenaan pajak bagi subjek pajak luar negeri yang tidak berada di Indonesia.
Pembentukan omnibus law di bidang perdagangan digital ini bertujuan menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri serta menjaga kebocoran PPN dan pajak penghasilan dari dalam negeri.
6. Fasilitas Perpajakan
Dalam RUU omnibus law ini juga akan dikumpulkan fasilitas pajak berupa insentif-insentif pajak seperti tax holiday, super deduction, tax allowance, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), PPh untuk surat berharga, dan insentif pajak daerah dari Pemda.
3 Manfaat Penerapan Omnibus Law
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menyebutkan, setidaknya ada 3 (tiga) manfaat dari penerapan Omnibus Law, sebagai berikut:
- Menghilangkan tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan.
- Efisiensi proses perubahan/pencabutan peraturan perundang-undangan.
- Menghilangkan ego sektoral yang terkandung dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Referensi:
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Ikuti terus bloghrd.com untuk mendapatkan informasi seputar HR, karir, info lowongan kerja, juga inspirasi terbaru terkait dunia kerja setiap harinya!