Perhitungan Nilai Sisa Buku Buku Fiskal Menurut Pajak

Perbedaan antara Nilai Buku Bersih (NBV) fiskal dan komersial adalah topik yang sering menjadi perbincangan dalam dunia perpajakan dan akuntansi. Dalam kasus tertentu, perbedaan ini dapat memengaruhi perhitungan laba fiskal suatu perusahaan. Artikel ini akan membahas mengapa perbedaan tersebut mungkin terjadi, bagaimana perhitungannya, serta bagaimana perbedaan antara NBV fiskal dan komersial dapat memengaruhi perhitungan laba fiskal.

Perbedaan Antara NBV Fiskal dan Komersial

Pada dasarnya, perbedaan antara NBV fiskal dan komersial hanya terjadi karena perbedaan dalam metode penyusutan yang digunakan oleh perpajakan dan akuntansi komersial. Metode penyusutan adalah cara untuk mengalokasikan biaya aset tetap selama masa manfaatnya.

Contoh yang paling umum adalah perbedaan dalam periode penyusutan yang digunakan oleh pajak dan akuntansi komersial. Misalnya, dalam kasus gedung kantor dengan harga akuisisi sebesar Rp 3 miliar, akuntansi komersial mungkin menggunakan masa manfaat 15 tahun, sedangkan pajak dapat menggunakan masa manfaat 20 tahun. Ini berarti bahwa akumulasi penyusutan per tahun akan berbeda antara kedua metode.

Contoh Perbedaan dalam Penyusutan

Mari kita lihat contoh kasus gedung kantor dengan harga akuisisi sebesar Rp 3 miliar:

  • Menurut akuntansi komersial, gedung ini akan diakui sebagai aset dengan masa manfaat 15 tahun. Maka, secara akuntansi, akumulasi penyusutannya per tahun adalah: Rp 3 miliar / 15 tahun = Rp 200 juta per tahun.
  • Namun, dalam hal perpajakan, otoritas pajak mungkin menetapkan bahwa bangunan permanen seperti ini memiliki masa manfaat 20 tahun dengan metode penyusutan garis lurus. Maka, secara fiskal, akumulasi penyusutannya per tahun adalah: Rp 3 miliar / 20 tahun = Rp 150 juta per tahun.

Mengapa Perbedaan Terjadi

Anda mungkin bertanya-tanya mengapa terdapat perbedaan dalam metode penyusutan antara pajak dan akuntansi komersial. Hal ini dapat terjadi karena otoritas pajak memiliki aturan khusus yang mengatur perhitungan pajak penghasilan. Mereka mungkin menggunakan metode penyusutan yang berbeda untuk tujuan perpajakan guna mengatur aliran kas yang masuk ke kas negara. Sementara itu, akuntansi komersial lebih berfokus pada penyajian laporan keuangan yang akurat bagi pemegang saham dan pihak-pihak terkait.

BACA JUGA :  KPP Pratama Jakarta Senen

Dampak pada Laba Fiskal

Sekarang, mari kita tinjau bagaimana perbedaan antara NBV fiskal dan komersial dapat memengaruhi perhitungan laba fiskal suatu perusahaan. Laba fiskal dihitung berdasarkan perbedaan antara nilai jual aset dan nilai buku bersih (NBV) aset tersebut.

  • Nilai Jual Aset: Dalam contoh di atas, misalkan perusahaan menjual gedung kantor tersebut dengan harga Rp 2 miliar setelah 10 tahun kepemilikan.
  • Nilai Buku Bersih (NBV): NBV dihitung dengan mengurangkan akumulasi penyusutan dari nilai aset. Untuk akuntansi komersial, NBV adalah Rp 3 miliar (harga akuisisi) – (Rp 200 juta x 10 tahun) = Rp 1 miliar. Namun, untuk tujuan perpajakan, NBV adalah Rp 3 miliar (harga akuisisi) – (Rp 150 juta x 10 tahun) = Rp 1,5 miliar.
  • Laba Bersih: Laba fiskal dihitung sebagai selisih antara nilai jual aset dan NBV. Dalam hal ini, laba fiskal akan berbeda karena NBV fiskal dan komersial tidak sama. Laba fiskal adalah Rp 2 miliar (nilai jual aset) – Rp 1,5 miliar (NBV fiskal) = Rp 500 juta. Namun, jika kita menggunakan NBV komersial, laba fiskal akan menjadi Rp 2 miliar (nilai jual aset) – Rp 1 miliar (NBV komersial) = Rp 1 miliar.

Jadi, perbedaan antara NBV fiskal dan komersial dalam hal ini memengaruhi perhitungan laba fiskal. Dalam contoh ini, laba fiskal akan berbeda sebesar Rp 500 juta tergantung pada metode penyusutan yang digunakan.

Koreksi Fiskal

Namun, bagaimana jika perusahaan tersebut kemudian memutuskan untuk menjual gedung kantor tersebut setelah 10 tahun, dan otoritas pajak menilai bahwa penyusutan fiskal harus dikoreksi? Dalam hal ini, koreksi fiskal diperlukan untuk mengakui bahwa pajak yang telah dihemat selama 10 tahun tidak seharusnya ada.

Koreksi fiskal dapat dilakukan dengan mencatat koreksi pada laporan pajak perusahaan. Ini akan mencakup membatalkan penyusutan fiskal yang seharusnya tidak ada. Perhitungan koreksi fiskal akan bergantung pada peraturan perpajakan yang berlaku di wilayah tersebut.

Bagaimana NBV (Nilai Sisa Buku Buku Fiskal) Dihitung

NBV adalah salah satu komponen penting dalam perhitungan laba fiskal. NBV dihitung dengan mengurangkan akumulasi penyusutan dari nilai aset. Jadi, jika Anda ingin menghitung NBV suatu aset, Anda hanya perlu mengurangkan total akumulasi penyusutan dari biaya aset tersebut.

Contoh Penghitungan NBV 1

Misalkan Anda memiliki aset dengan biaya akuisisi sebesar Rp 10 miliar dan telah mengalami akumulasi penyusutan sebesar Rp 4 miliar selama masa manfaatnya. Untuk menghitung NBV aset tersebut, Anda tinggal mengurangkan jumlah akumulasi penyusutan dari biaya aset:

BACA JUGA :  KPP Pratama Semarang Barat

NBV = Biaya Aset – Akumulasi Penyusutan NBV = Rp 10 miliar – Rp 4 miliar NBV = Rp 6 miliar

Jadi, NBV aset tersebut adalah Rp 6 miliar. NBV adalah indikator penting dalam menentukan nilai aset dalam laporan keuangan suatu perusahaan.

Contoh Penghitungan NBV (Nilai Sisa Buku Buku Fiskal) 2

Misalkan, sebuah gedung kantor dibeli dengan harga Rp 5 miliar. Secara akuntansi, gedung ini diakui sebagai aset dengan masa manfaat 20 tahun. Maka secara akuntansi, akumulasi penyusutannya adalah:

5.000.000.000 / 20 tahun = 250.000.000/tahun

Bagaimana dengan pajak? Pajak menentukan bahwa untuk bangunan permanen, penyusutannya dilakukan secara garis lurus dengan masa manfaat 25 tahun. Maka secara fiskal, akumulasi penyusutannya adalah:

5.000.000.000 / 25 tahun = 200.000.000/tahun

Ini berarti setiap tahun akan ada perbedaan sebesar 50.000.000 antara penyusutan akuntansi dan fiskal, dimulai dari tahun ke-21 hingga tahun ke-25 di mana penyusutan hanya berlaku secara fiskal.

Apa yang terjadi jika penyusutan komersial sama dengan penyusutan fiskal? Tidak akan ada perbedaan dalam akumulasi penyusutan seperti dalam contoh di atas. Baik fiskal maupun komersial akan menjadi sebesar 200.000.000/tahun.

Sekarang, mari kita bahas pencatatan penyusutan secara dasar. Pada sisi debet (Depreciation expense) dan pada sisi kredit (Accumulated depreciation).

Bagaimana jika ini memengaruhi neraca dan laba rugi?

Maka, pada neraca (balance sheet), Accumulated depreciation akan tercatat sebagai pos aset. Sedangkan pada laba rugi (income statement), Depreciation expense akan mencatatkan biaya penyusutan.

Sekarang, kita akan melihat dari perspektif fiskal. Jika ternyata gedung permanen ini tidak digunakan untuk kegiatan bisnis perusahaan selama 3 tahun, maka “penyusutannya tidak dapat dibebankan”.

Lalu, bagaimana melakukan koreksi? Secara akuntansi perpajakan, ini dijabarkan sebagai berikut:

Depreciation expense (fiskal) 200.000.000 Depreciation expense (komersial) 0

Koreksi fiskal 200.000.000 (biaya yang dikoreksi)

Bagaimana dengan accumulated depreciation? Tetap dicatat seperti biasa.

Bagaimana menghitung Nilai Buku Bersih (NBV)? NBV dihitung dari nilai aset dikurangi akumulasi penyusutan (accumulated depreciation). Jadi, jika tidak ada perbedaan metode penyusutan antara fiskal dan komersial, maka nilai NBV akan tetap sama.

Berapa laba bersihnya?

Nilai Aset 2.500.000.000

Akumulasi penyusutan selama 10 tahun 1.000.000.000

Nilai Buku 1.500.000.000

Laba Bersih

Nilai Jual Aset 3.000.000.000

Nilai Buku 1.500.000.000

Laba Bersih 1.500.000.000

Dalam contoh di atas, kami telah mengganti nilai angka dalam perhitungan, tetapi konsep dan prinsip perhitungan penyusutan tetap sama.

BACA JUGA :  Bagaimana Perlakuan Faktur Pajak Non PKP di Indonesia?

Contoh Penghitungan NBV (Nilai Sisa Buku Buku Fiskal) 3

Dalam contoh perhitungan di bawah ini, kita akan menggunakan angka yang berbeda untuk menggambarkan konsep penyusutan dalam format tabel:

Akuntansi Pajak Komersial
Harga Aset (Rp) 4.500.000.000 4.500.000.000 4.500.000.000
Masa Manfaat (tahun) 20 15 20
Penyusutan per Tahun 225.000.000 300.000.000 225.000.000

Dalam tabel di atas, kita memiliki aset senilai Rp 4.500.000.000 dengan tiga metode perhitungan penyusutan yang berbeda: akuntansi, pajak, dan komersial.

Metode Akuntansi:

  • Harga aset adalah Rp 4.500.000.000.
  • Masa manfaat adalah 20 tahun.
  • Penyusutan per tahun adalah Rp 225.000.000 (Harga Aset / Masa Manfaat).

Metode Pajak:

  • Harga aset adalah Rp 4.500.000.000.
  • Masa manfaat adalah 15 tahun (berbeda dari akuntansi).
  • Penyusutan per tahun adalah Rp 300.000.000 (Harga Aset / Masa Manfaat).

Metode Komersial:

  • Harga aset adalah Rp 4.500.000.000.
  • Masa manfaat adalah 20 tahun (sama dengan akuntansi).
  • Penyusutan per tahun adalah Rp 225.000.000 (Harga Aset / Masa Manfaat).

Dalam kasus di mana metode pajak digunakan, penyusutan akan lebih tinggi, sehingga beban pajak akan lebih rendah pada awal. Sebaliknya, dalam metode akuntansi dan komersial, beban pajak akan lebih tinggi pada awal karena penyusutan lebih rendah.

Penting untuk diingat bahwa nilai Net Book Value (NBV) akan sama dalam semua metode, yaitu nilai aset dikurangi akumulasi penyusutan. Dalam contoh ini, jika kita ingin menghitung laba bersih jika aset dijual, kita dapat menggunakannya sebagai berikut:

  • Nilai Aset: Rp 4.500.000.000
  • Akumulasi Penyusutan (setelah 10 tahun): Rp 2.250.000.000 (Penyusutan per tahun x 10 tahun)
  • Nilai Buku: Rp 2.250.000.000 (Nilai Aset – Akumulasi Penyusutan)

Jika aset dijual dengan nilai Rp 2.000.000.000, maka laba bersihnya adalah:

  • Nilai Jual Aset: Rp 2.000.000.000
  • Nilai Buku: Rp 2.250.000.000
  • Laba Bersih: -Rp 250.000.000 (Nilai Jual Aset – Nilai Buku)

Dalam contoh ini, laba bersih adalah minus karena aset dijual dengan harga di bawah nilai bukunya.

Penutup

Perbedaan antara NBV fiskal dan komersial mungkin terjadi karena perbedaan dalam metode penyusutan yang digunakan oleh pajak dan akuntansi komersial. Hal ini dapat memengaruhi perhitungan laba fiskal suatu perusahaan, terutama jika perusahaan menjual asetnya.

Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk memahami peraturan perpajakan yang berlaku di wilayahnya dan mempertimbangkan dampak perbedaan NBV fiskal dan komersial dalam perencanaan keuangan mereka. Selain itu, jika koreksi fiskal diperlukan, perusahaan harus mengikutinya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Ikuti terus bloghrd.com untuk mendapatkan informasi seputar HR, karir, info lowongan kerja, juga inspirasi terbaru terkait dunia kerja setiap harinya!


Putri Ayudhia

Putri Ayudhia

Putri Ayudhia adalah seorang penulis konten SEO dan blogger paruh waktu yang telah bekerja secara profesional selama lebih dari 7 tahun. Dia telah membantu berbagai perusahaan di Indonesia untuk menulis konten yang berkualitas, SEO-friendly, dan relevan dengan bidang HR dan Psikologi. Ayudhia memiliki pengetahuan yang kuat dalam SEO dan penulisan konten. Dia juga memiliki pengetahuan mendalam tentang HR dan Psikologi, yang membantu dia dalam menciptakan konten yang relevan dan berbobot. Dia memiliki keterampilan dalam melakukan riset pasar dan analisis, yang membantu dia dalam menciptakan strategi konten yang efektif.
https://bloghrd.com