Mengenal Fenomena Taper Tantrum: Ancaman Ekonomi di Era Krisis
Pandemi COVID-19 yang melanda seluruh dunia telah mengguncang segala aspek kehidupan, termasuk ekonomi. Di tengah upaya keras yang dilakukan oleh berbagai negara untuk menjaga stabilitas ekonomi mereka, ada satu ancaman yang mungkin kurang diperhatikan namun sangat signifikan, yaitu taper tantrum. Artikel ini akan menggali lebih dalam mengenai apa yang dimaksud dengan taper tantrum, mengenang fenomena serupa yang terjadi pada tahun 2013, dan menganalisis dampak potensialnya terhadap perekonomian Indonesia jika fenomena ini terulang.
Daftar Isi
Apa Itu Taper Tantrum?
Ketika pertama kali mendengar istilah “taper tantrum,” mungkin terdengar agak asing. Namun, istilah ini adalah penggabungan dari dua kata, yaitu “tapering” dan “tantrum.” “Tapering” sendiri merujuk pada langkah atlet untuk beristirahat atau mengurangi intensitas latihan pada hari sebelum pertandingan. Di sisi lain, “tantrum” adalah istilah yang berasal dari dunia psikologi yang menggambarkan kondisi emosi yang tidak terkendali atau meluap-luap. Namun, dalam konteks keuangan, istilah “taper tantrum” memiliki makna yang lebih spesifik.
Taper tantrum adalah istilah yang digunakan dalam dunia keuangan untuk menggambarkan situasi di mana terjadi pengetatan kebijakan ekonomi, biasanya terkait dengan kebijakan Bank Sentral AS, yaitu The Federal Reserve (The Fed). Pengetatan ini bisa meliputi berbagai aspek, tetapi salah satu yang paling signifikan adalah pengurangan pembelian surat utang yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika (US Treasury).
Sejarah Taper Tantrum 2013
Untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan taper tantrum, kita dapat melihat kasus yang pernah terjadi sebelumnya. Tahun 2013 menjadi catatan penting dalam sejarah finansial karena merupakan tahun di mana taper tantrum pertama kali mencuat ke permukaan.
Pada tahun 2013, Amerika Serikat menghadapi situasi di mana likuiditas melimpah, dan tingkat hasil atau yield obligasi meningkat secara signifikan. Keputusan penting yang diambil saat itu adalah kebijakan pengurangan stimulus oleh The Federal Reserve, yang dipimpin oleh Ben Bernanke. The Fed mengurangi pembelian obligasi dari sekitar US$85 miliar per bulan menjadi US$75 miliar per bulan, kebijakan yang mulai berlaku pada Januari 2014.
The Fed mengelola ekonomi Amerika dengan mengatur suku bunga acuan. Selama lima tahun, The Fed menjaga suku bunga acuan pada level 0%, namun The Fed memiliki keterbatasan dalam menurunkan suku bunga di bawah nol. Sebagai alternatif, The Fed memasukkan uang ke dalam sistem keuangan untuk merangsang pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 2013, kebijakan The Fed terkait Quantitative Easing (pembelian aset) dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu pembelian surat utang AS senilai US$40 miliar dan pembelian obligasi kredit perumahan senilai US$35 miliar, yang akan mulai dilakukan pada Januari 2014.
Kebijakan ini memungkinkan The Fed untuk memompa uang ke dalam sistem keuangan dengan harapan bahwa uang tersebut akan digunakan oleh perusahaan untuk keperluan lainnya. Hal ini membantu mengatasi resesi yang telah melanda AS sejak tahun 2009. Namun, konsekuensi dari langkah-langkah ini adalah menguatnya dolar AS.
Dampak dari peristiwa ini sangat signifikan, tidak hanya di Amerika Serikat tetapi juga di seluruh dunia. Kurs mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, merosot tajam sejak pengumuman kebijakan tapering pada tahun 2013 hingga mencapai puncak pelemahan pada September 2015.
Dampak Terhadap Indonesia
Ketika melihat potensi terjadinya taper tantrum lagi, kita perlu memahami dampak yang mungkin akan memengaruhi perekonomian Indonesia. Namun, perlu diingat bahwa belum ada kepastian kapan The Fed akan mengambil keputusan tersebut, dan ini adalah bagian dari spekulasi pasar.
1. Jatuhnya Kurs Rupiah
Salah satu dampak yang paling terlihat adalah penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ketika investor asing mulai menarik investasi mereka dari instrumen-instrumen investasi di Indonesia dan mengonversi dana mereka ke dalam dolar AS, permintaan terhadap dolar akan meningkat secara signifikan. Hal ini dapat menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah, terutama jika disertai dengan kepanikan di pasar keuangan.
Pelemahan nilai tukar rupiah memiliki dampak yang luas, termasuk kenaikan harga barang impor dan komoditas yang dihargai dalam dolar. Ini juga dapat memicu kenaikan harga emas, yang seringkali dianggap sebagai aset safe haven dalam situasi ketidakpastian ekonomi.
Namun, perlu dicatat bahwa Bank Indonesia (BI) sebagai regulator memiliki berbagai instrumen untuk mengatur stabilitas nilai tukar rupiah. BI dapat melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menjaga stabilitas mata uang domestik.
2. Kenaikan Suku Bunga
Kenaikan suku bunga menjadi dampak lain yang perlu diperhatikan. Saat ini, banyak orang dan perusahaan telah terbiasa dengan tingkat suku bunga rendah, yang membuat biaya pinjaman lebih terjangkau. Namun, jika terjadi taper tantrum, Bank Indonesia mungkin akan menaikkan suku bunga untuk menjaga daya tarik investor dalam negeri.
Kenaikan suku bunga dapat berdampak langsung pada debitur, terutama yang memiliki pinjaman dengan suku bunga variabel. Biaya cicilan pinjaman mereka bisa meningkat, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi daya beli konsumen dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, kenaikan suku bunga juga dapat meningkatkan beban utang pemerintah dan perusahaan, terutama yang memiliki utang dalam mata uang asing. Ini bisa menjadi tantangan serius dalam mengelola kebijakan fiskal dan moneter di tengah ketidakpastian ekonomi.
3. Capital Outflow
Taper tantrum dapat memicu capital outflow, yaitu penarikan dana investor asing dari pasar keuangan Indonesia. Ini dapat berdampak negatif pada likuiditas pasar dan mengganggu stabilitas keuangan nasional.
Penarikan dana investor asing dapat menyebabkan penurunan harga aset finansial, termasuk saham dan obligasi. Hal ini juga dapat memicu volatilitas pasar yang lebih tinggi dan meningkatkan risiko investasi.
4. Peran Bank Sentral Indonesia
Dalam menghadapi potensi taper tantrum, peran Bank Indonesia sebagai bank sentral sangat penting. BI memiliki tugas utama dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, menjaga stabilitas harga, dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Untuk menghadapi potensi penurunan nilai tukar rupiah, BI dapat menggunakan cadangan devisa untuk melakukan intervensi di pasar valuta asing. BI juga dapat menyesuaikan kebijakan suku bunga acuan sesuai dengan kondisi pasar dan inflasi.
Selain itu, BI dapat bekerja sama dengan pemerintah dalam mengambil langkah-langkah kebijakan fiskal yang tepat untuk mengatasi dampak ekonomi dari taper tantrum. Kolaborasi antara bank sentral dan pemerintah sangat penting dalam situasi seperti ini.
Kesimpulan
Taper tantrum adalah fenomena yang perlu diwaspadai, terutama dalam situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian seperti saat ini. Meskipun belum ada kepastian kapan atau apakah The Fed akan mengambil langkah-langkah pengurangan stimulus, Indonesia harus siap menghadapinya.
Dalam menghadapi potensi taper tantrum, Indonesia memiliki sejumlah instrumen kebijakan yang dapat digunakan oleh Bank Indonesia dan pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi. Ini termasuk intervensi di pasar valuta asing, penyesuaian suku bunga, dan kebijakan fiskal yang tepat.
Selain itu, penting bagi Indonesia untuk menjaga komunikasi yang baik dengan pasar keuangan internasional dan mempertahankan kepercayaan investor asing. Dengan langkah-langkah yang tepat, Indonesia dapat mengurangi dampak negatif dari taper tantrum dan tetap bergerak menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dalam era ketidakpastian, kesiapan dan respons yang cepat menjadi kunci untuk menjaga stabilitas ekonomi negara.
Ikuti terus bloghrd.com untuk mendapatkan informasi seputar HR, karir, info lowongan kerja, juga inspirasi terbaru terkait dunia kerja setiap harinya!